Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SUMEDANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Smd AGUS GUNAWAN alias HERBOK BIN WATMA Kepolisian Negara Republik Indonesia Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 20 Mar. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penahanan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Smd
Tanggal Surat Rabu, 20 Mar. 2019
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2019/PN Smd
Pemohon
NoNama
1AGUS GUNAWAN alias HERBOK BIN WATMA
Termohon
NoNama
1Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN

ATAS NAMA PEMOHON :

 

AGUS GUNAWAN Als HERBOK Bin WATMA (Alm)

 

 M E L A W A N

 

RESKRIMUM POLISI SEKTOR CIMALAKA SUMEDANG

Sebagai TERMOHON

 

Terhadap :

Penolakan Permohonan Gelar Perkara Dan Penangkapan atas Diri Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana Pasal 170 Ayat (1) dan Ayat (2) Ke-1e KUHPidana dan atau Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (4)  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dilakukan oleh Polri Daerah Jawa Barat Resor Sumedang SEKTOR CIMALAKA.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • 20 Maret 2019 -

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kepada Yth.

 

KETUA PENGADILAN NEGERI SUMEDANG

Jl. Raya Sumedang –Cirebon Km.04 No.54

Sumedang Jawa Barat 45353.

 

Hal    :        PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS NAMA  AGUS GUNAWAN als

        HERBOK BIN WATMA (ALM).

 

 

 

 

Dengan Hormat,

 

Perkenankan kami ARTHUR YUDI WARDANA,SH.MH., ADAM MIMBAR AFRIADI, SH., kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Office “ARTHUR YUDI WARDANA,SH.MH.& PARTNERS” yang beralamat di Jl. Jalan Sadang No 27A Kopo Sayati Kabupaten Bandung.

 

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Maret 2019, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama AGUS GUNAWAN Als HERBOK Bin WATMA (Alm) selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

 

PEMOHON dengan ini bermaksud mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN sehubungan dengan PENANGKAPAN YANG TIDAK SAH SECARA HUKUM atas DIRI PEMOHON dan PENOLAKAN PERMOHONAN GELAR PERKARA di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sumedang yang telah dilakukan oleh POLRI DAERAH JAWA BARAT RESOR SUMEDANG SEKTOR CIMALAKA yang beralamat di Jl. Raya Cibeureum No.123, Mandalaherang, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa-Barat 45353, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON .

 

Bahwa, untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penangkapan sebagai tersangka dalam dugaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (1) dan Ayat (2) Ke-1e KUHPidana dan atau Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (4) KUHPidana  oleh Polri Daerah Jawa Barat Resor Sumedang SEKTOR CIMALAKA.

 

Adapun yang menjadi alasan permohonan PEMOHON adalah sebagai berikut :

 

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN ;

 

  • Tindakan upaya paksa seperti penangkapan yang telah dilakukan oleh pihak Reskrim Polisi sektor cimalaka diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan, sehingga pada dasarnya tindakan itu merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia, maka Praperadilan merupakan tempatnya mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merupakan rujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi tindakan sewenang-wenang dari penyidik  dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum dapat ditegakkan dan member perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka dalam pemeriksaan penyidikan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan Penangkapan dan menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  • Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata sering merupakan pelanggar hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya Penangkapan, penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

  • Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

 

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
  • [dst]
  • [dst]
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

  • Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

  • Bahwa, mengenai dasar hukum dan tujuan ATAS SUATU DUGAAN TINDAK PIDANA harus melakukan mekanisme pendalaman atas suatu perkara dengan melakukan gelar perkara yang bertujuan untuk memantapkan penetapan unsur – unsur  pasal yang dituduhkan atas indikasi tindak pidana atas diri seseorang dan gelar perkara diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya diantaranya :

 

  • UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP,
  • UU Nomor 2 tahun 2003 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia ,
  • Petunjuk Pelaksanaan No.Pol Juklak/5/IV/1984/Ditserse tanggal 1 april 1984 tentang Pelaksanaan Gelar Perkara,
  • Keputusan Kapolri No.Pol :Kep/1205/IX/2000 tanggal 11 september 2000 tentang Himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan tindak pidana,
  • Keputusan Kapolri No.Pol:Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polri,
  • -Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polda,

 

Sehingga secara formal mekanisme gelar perkara wajib dilakukan dengan menghadirkan baik pelapor maupun terlapor jika hal ini tidak dilakukan, maka hasil gelar perkara CACAT HUKUM maka pelaksanaan gelar perkara pada tahapan proses penyidikan suatu dugaan tindak pidana sangat penting dalam melakukan upaya kontrol terhadap upaya paksa dan atau penetapan tersangka yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap Tersangka namun yang lebih penting lagi ETIKA, MORAL PROFESIONALISME dari aparat tersebut secara bertanggung jawab dalam melaksanakan wewenangnya mematuhi prosedural hukum yang berlaku yang telah diberikan oleh undang-undang sehingga apa yang telah diberikan oleh undang-undang tidak menimbulkan permasalahan hukum lain terhadap tersangka khususnya dalam perlindungan hak-hak dari tersangka dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA,

 

  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk Penangkapan, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

 

  1. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

 

  1. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”

 

  1. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka, hanya berdasarkan pada Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/01/1/2019/Reskrim tertanggal 23 Januari 2019 termohon ditangkap dan lalu pada malam harinya Pukul 22.30 wib tanggal 23 Januari 2019 dilakukan Berita Acara Pemeriksaan langsung sebagai TERSANGKA, dan pada tanggal 24 Januari langsung keluar surat Penahanan Nomor : Sp.Han/01/I/2019/Reskrim. Termohon merasa heran karena tidak pernah ada satu kali pun ada surat panggilan baik sebagai saksi ataupun sebagai Tersangka pernah dilayangkan oleh Termohon kepada Pemohon, akan tetapi Pemohon langsung ditangkap sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa sebagai Tersangka untuk pertama kali oleh Termohon langsung keesokan harinya ditahan ;

 

  1. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Reserse Kriminal Umum Polsek Cimalaka Sumedang.

 

  1. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang Penangkapan, penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

 

 

  1. ANALISA YURIDIS TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON,

 

  1. Bahwa Penangkapan oleh TERMOHON terhadap PEMOHON adalah sangat tidak prosedural bertentangan dengan hukum dan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat Penangkapan Nomor: SP.Kap/01/1/2019 tertanggal 23 Januari 2019 sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon. Sangat jelas melanggar pasal 36 ayat (1) Perkap Nomor : 14 tahun 2012.yakni :

 

  • Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
    1. Adanya bukti permulaan yang cukup:dan
    2. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.

 

  1. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

 

  1. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

 

  1. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

 

  1. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penangkapan, penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

3.  PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS

MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN.

 

  1. Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 23 Januari 2019, namun pada tanggal 13 Maret 2019 Pemohon masih dipanggil untuk dimintai keterangan BAP TAMBAHAN melalui surat Pemberitahuan untuk BAP tambahan  tertanggal 11 maret 2019. dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum dilakukan kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana, sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu tidak sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

 

  1. Maka surat penangkapan Nomor : SP.Kap/01/1/2019/Reskrim tersebut merupakan penangkapan yang tidak sah dikarenakan Penyidik tidak memiliki kompetensi guna melakukan penangkapan tanpa adanya bukti permulaan yang cukup: dan Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penangkapan, penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.

 

4. PENANGKAPAN PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN

   TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN

    DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM,

 

  1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

 

  1. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

 

  1. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon perihal penangkapan pun sangat jelas telah melanggar ketentuan pasal 36 ayat (1) Perkap Nomor : 14 tahun 2012.yakni :

 

  • (1) Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan

sebagai berikut :

  1. Adanya bukti permulaan yang cukup:dan
  2. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.

 

Sehingga akibat Termohon tidak mematuhi isi aturan Pasal 36 ayat (1) Perkap Nomor : 14 tahun 2012, maka penangkapan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

  • Bahwa, mengenai dasar hukum dan tujuan ATAS SUATU DUGAAN TINDAK PIDANA harus melakukan mekanisme pendalaman atas suatu perkara dengan melakukan gelar perkara yang bertujuan untuk memantapkan penetapan unsur – unsur  pasal yang dituduhkan atas indikasi tindak pidana atas diri seseorang dan gelar perkara diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya diantaranya :

 

  • UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP,
  • UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ,
  • Petunjuk Pelaksanaan No.Pol Juklak/5/IV/1984/Ditserse tanggal 1 april 1984 tentang Pelaksanaan Gelar Perkara,
  • Keputusan Kapolri No.Pol :Kep/1205/IX/2000 tanggal 11 september 2000 tentang Himpunan Juklak dan Juknis proses penyidikan tindak pidana,
  • Keputusan Kapolri No.Pol:Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polri,
  • -Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim Polda,

 

Sehingga secara formal mekanisme gelar perkara tidak pernah dilaksanakan dengan menghadirkan baik pelapor maupun terlapor jika hal ini tidak dilakukan, maka hasil gelar perkara CACAT HUKUM.

 

  • Bahwa dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar sebagaimana di atas tanpa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sumedang yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penangkapan, penetapan tersangka oleh Termohon terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

 

III. PETITUM

 

Berdasarkan pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumedang yang Memeriksa dan Mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

 

  1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;

 

  1. Menyatakan tindakan Termohon tidak sah dan cacat hukum terhadap penangkapan, terhadap Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Ayat (1) dan Ayat (2) ke- 1e KUHPidana dan atau Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (4) KUHPidana oleh Polri Daerah Jawa Barat Resor Sumedang Sektor Cimalaka sebagai termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penangkapan kepada tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

 

  1. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penangkapan dan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;

 

  1. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;

 

  1. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

 

  1. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumedang yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

Apabila yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumedang yang memeriksa permohonan aquo berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

 

Bandung , 20 maret 2019.

Hormat kami,

 

 

 

 

 

ARTHUR YUDI WARDANA,SH.MH.                               ADAM MIMBAR AFRIADI,SH. 

Pihak Dipublikasikan Ya